Karakteristik Anak Disgrafia
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Disgrafia adalah kesulitan belajar menulis. Santrock (2012, hlm. 248) mendefinisikan disgrafia sebagai “kesulitan belajar yang ditandai dengan adanya kesulitan dalam mengungkapkan pemikiran dalam komposisi tulisan”. Pada umumnya istilah disgrafia digunakan untuk mendeskripsikan tulisan tangan yang sangat buruk. Anak-anak yang memiliki disgrafia mungkin menulis dengan sangat pelan, hasil tulisan mereka bisa jadi sangat tidak terbaca, dan mereka mungkin melakukan banyak kesalahan ejaan karena ketidakmampuan mereka untuk memadukan bunyi dan huruf.
Gunadi (2009, hlm. 19) menyebutkan sejumlah karakteristik anak dengan disgrafia, sebagai berikut:
1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisan.
2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4. Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahaman lewat tulisan.
5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
Berdasarkan karakteristik anak disgrafia, terdapat sejumlah tahapan penanggulangan yang bisa dilakukan menurut Helmi dan Zama (2009), antara lain:
1. Pahami keadaan anak
Upayakan untuk tidak membandingkan anak yang mengalami gangguan ini dengan anak lain yang normal. Membanding-bandingkannya hanya akan membuat anak merasa stress dan frustasi.
2. Menyajikan tulisan cetak
Berikan kesempatan kepada anak untuk belajar menuangkan ide-idenya dengan menggunakan media komputer. Penggunaan komputer memungkinkan anak bisa memanfaatkan sarana kolektor ejaan agar dia mengetahui kesalahannya secara langsung.
3. Bangun rasa percaya diri anak
Berilah pujian pada saat yang tepat dan wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak. Selain itu, jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan hal-hal yang sedang dilakukan anak karena akan membuatnya merasa rendah diri dan frustasi. Jika ini yang terjadi, akan terjadi kontradiksi dengan upaya penanggulangan hambatannya dan akan sulit untuk membangun kembali rasa percaya diri anak.
4. Latih anak terus menulis
Upayakan setiap peristiwa menjadi saat-saat latihan bagi anak untuk menulis. Berikan tugas-tugas yang menarik, seperti menulis surat untuk teman, untuk orang tua, menulis dalam selembar kartu pos, dan sebagainya. Upaya-upaya ini akan meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan.
Referensi
Gunadi, T. (2009). 24 Gerakan Senam Otak untuk Menciptakan Kecerdasan Anak. Jakarta: Penebar Plus.
Helmi, D. R., & Zama, S. (2009). 12 Permainan untuk Meningkatkan Intelegensia Anak. Jakarta: Visimedia.
Santrock (2012). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humaika.