kelip-celik
Gevedu: Cerpen
Cerita pendek atau yang lebih lumrah dikenal dengan istilah cerpen merupakan cerita pendek berbentuk prosa fiksi. Prosa fiksi dikenal juga dengan sebutan karangan narasi sugestif atau imajinatif. Prosa fiksi adalah “kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar, dan tahapan serta rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarang sehingga menjalin suatu cerita” (Aminuddin, 2011, hlm. 66). Adapun cerpen yang merupakan salah satu bentuk prosa fiksi yang di dalamnya merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan.
Cerpen cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya fiksi yang lebih panjang. Ukuran pendek ini biasanya selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam. “Ukuran pendek tersebut juga dapat didasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya” (Suyanto, 2012, hlm. 46). Artinya, cerpen perlu memiliki efek tunggal dan tidak terlalu kompleks.
Terdapat unsur pembangun pada karya sastra, termasuk cerpen, yang biasa disebut unsur intrinsik. Penjelasan mengenai unsur intrinsik dijabarkan sebagai berikut:
1. Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit, hal tersebut harus dirasakan dan disimpulkan oleh para pembaca setelah selesai membacanya.
Tema juga dapat dikatakan sebagai dasar atau makna suatu cerita. Tarigan (2011, hlm. 125) mengemukakan tema merupakan “pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama suatu karya sastra”. Di dalam upaya memahami tema, Aminuddin (2011, hlm. 92) memberikan sejumlah langkah sebagai berikut:
a. Memahami
setting
dalam prosa fiksi yang dibaca.
b. Memahami penokohan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.
c. Memahami suatu peristiwa, pokok pikiran, serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.
d. Memahami alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
e. Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.
f. Menentukan sikap pendarang terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkan.
g. Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan cerita dengan bertolak dari suatu pokok pikiran yang ditampilkan.
h. Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkan dalam satu atau dua yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarang.
2. Latar
Latar adalah segala keteranagan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Latar merupakan “tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan” (Suyanto, 2012, hlm. 50).
Latar dalam cerita dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Latar tempat, yaitu latar yang merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa cerita, baik itu nama kota, jalan, gedung, rumah, dan sebagainya.
b. Latar waktu, yaitu latar yang berhubungan dengan saat terjadinya peristiwa cerita, apakah berupa penggalan, penyebutan peristiwa sejarah, penggambaran situasi malam, pagi, siang, sore, dan sebagainya.
c. Latar sosial, yaitu keadaan yang berupa adat istiadat, budaya, nilai-nilai/norma, dan sejenisnya yang ada di tempat peristiwa cerita.
3. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan bahasa seorang pengarang untuk menciptakan efek estetis dan kekuatan daya ungkap. Untuk mencapai hal tersebut, pengarang memberdayakan unsur-unsur gaya bahasa tersebut, yaitu “diksi (pemilihan kata), pencitraan (penggambaran sesuatu yang seolah-olah dapat diindera pembaca), majas, dan gaya retoris” (Suyanto, 2012, hlm. 51).
4. Alur
Alur adalah “rangkaian peristiwa yang saling berkaitan karena hubungan sebab akibat” (Suyanto, 2012, hlm. 49). Cara menganalisis alur adalah dengan mencari dan mengurutkan peristiwa demi peristiwa yang memiliki hubungan kausalitas. Alur harus bergerak dari sebuah permulaan, melalui suatu pertengahan, dan menuju suatu akhir, yang dalam dunia sastra lebih dikenal sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi serta klimaks. Keempat hal tersebut dijelaskan lebih lanjut oleh Tarigan (2011, hlm. 217) sebagai berikut:
a. Eksposisi
Di dalam eksposisi diperkenalkan para tokoh pelaku kepada pembaca, mencerminkan situasi para tokoh, merencanakan konflik yang akan terjadi, dan memberi suatu indikasi mengenai resolusi. Dengan kata lain, eksposisi adalah proses penggarapan serta memperkenalkan informasi penting kepada para pembaca.
b. Komplikasi
Bagian tengah atau komplikasi dalam suatu fiksi bertugas mengembangkan konflik. Tokoh utama menemui gangguan-ganguan, halangan-halangan yang memisahkan serta manjauhkan dia dari tujuannya. Dengan kata lain, komplikasi adalah antarlakon antara tokoh dan kejadian yang membangun atau menumbuhkan suatu ketegasan serta mengembangkan suatu masalah yang muncul dari suatu orisinil yang disajikan dalam cerita.
c. Resolusi
Resolusi adalah bagian akhir suatu fiksi. Di sini pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua persitiwa yang terjadi.
d. Klimaks
Titik yang memisahkan komplikasi dengan resolusi disebut
turning point
atau klimaks. Pada klimaks ini terdapat suatu perubahan penting atau
critical shift
dalam nasib, sukses atau tidaknya tokoh utama. Dengan kata lain, klimaks adalah puncak tertinggi dalam serangkaian puncak tempat kekuatan-kekuatan dalam konflik mencapai intensifikasi yang tertinggi.
5. Sudut pandang
Sudut pandang adalah “cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkan” (Aminuddin, 2011, hlm. 90). Sudut pandang meliputi:
a.
Narrator omniscient
adalah narator atau pengisah yang juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Karena pelaku juga sebagai pengisah, akhirnya pengisah juga merupakan penutur yang serba tahu tentang apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya, baik secara fisik maupun psikologis.
b.
Narrator observer
adalah bila pengisah hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batin para pelaku.
c.
Narrator observer omniscient
adalah bila pengarang sebagai pencipta dan pelaku, selain berfungsi sebagai pengamat dari pelaku, pengarang juga sebagai dalang. Di dalam hal ini pengarang bukan hanya tahu tentang ciri-ciri fisik dan psikologi pelaku secara menyeluruh, tetapi juga sewajarnya tahu tentang nasib yang nantinya dialami para pelaku.
c.
Narrator the third person omniscient
adalah bila pengarang sebagai pelaku ketiga yang tidak terlibat secara langsung dalam keseluruhan satuan cerita, pengarang dalam hal ini masih merupakan juga penutur serba tahu tentang ciri-ciri fisik, psikologis, maupun kemungkinan kadar nasib yang nanti dialami pelaku.
6. Tokoh dan penokohan
Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh tidak selalu berwujud manusia, tetapi bergantung pada siapa atau apa yang diceritakannya. Adapun penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan watak-watak dalam suatu cerita. Terdapat sejumlah metode/teknik/cara yang digunakan pengarang dalam menampilkan watak tokoh-tokoh dalam suatu cerita menurut Suyanto (2012, hlm. 47), yaitu:
a. Metode
telling
, yaitu suatu pemaparan watak tokoh dengan mengandalkan eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Melalui metode ini keikutsertaan atau turut campurnya pengarang dalam menyajikan perwatakan tokoh sangat terasa sehingga para pembaca memahami dan menghayati perwatakan tokoh melalui penuturan langsung oleh pengarang.
b. Metode
showing
, yaitu penggambaran karakteristik tokoh dengan cara tidak langsung (tanpa ada komentar atau penuturan langsung oleh pengarang), tetapi dengan cara disajikan melalui dialog dan tingkah tokoh.
Referensi
Aminuddin (2011).
Pengantar Apersepsi Karya Sastra
. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suyanto, E. (2012).
Perilaku Tokoh dalam Cerpen Indonesia
. Lampung: Universitas Lampung.
Tarigan, H. G. (2011).
Prinsip-Prinsip Dasar Sastra
. Bandung: Angkasa Thahar.
Newer Post
Older Post
Home