Gevedu: Perjanjian Roem-Royen


Perjanjian Roem-Royen
Karya: Rizki Siddiq Nugraha

Royen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal  Gevedu: Perjanjian Roem-Royen

Perjanjian Roem-Royen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Nama perjanjian ini diambil dari kedua pemimpin delegasi, yakni Muhammad Roem dan Herman van Royen.
Pasca Agresi Militer Belanda II, atas desakan Amerika Serikat selaku anggota Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa, akhirnya pada tanggal 14 April 1949 perundingan antara Indonesia dengan Belanda dapat dibuka kembali, delegasi Indonesia dipimpin oleh Muhammad Roem, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Herman van Royen, yang merupakan perundingan pendahuluan sebelum diadakan perundingan puncak. Perundingan tersebut diketuai oleh Cochran, yang kemudian menyampaikan pidato tentang tujuan perundingan dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam perundingan tersebut.
Selanjutnya ketua delegasi Belanda, Herman van Royen menyampaikan pidato yang berisi:
1. Pemerintah Belanda telah menerima undangan untuk konferensi persiapan ini tanpa syarat.
2. Pemerintah Belanda bersedia menempatkan soal kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta sebagai pasal yang akan dibicarakan dengan syarat bahwa hasil-hasil perundingan ini hanya akan mengikat seandainya tercapai kata sepakat mengenai kedua pokok acara, yakni soal penghentian permusuhan dan pemulihan ketertiban dan ketentraman, serta syarat-syarat dan tanggal untuk menandatangani Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
3. Usul Belanda mengenai penyerahan kedaulatan yang dipercepat, Herman van Royen mengatakan bahwa ini akan bersifat tanpa syarat, nyata, dan lengkap, sedang Uni Indonesia-Belanda tidak akan menjadi super state, melainkan hanya merupakan suatu bentuk kerjasama antar negara-negara yang berdaulat, Indonesia dan Belanda atas dasar persamaan dan kesukarelaan sepenuhnya.
Selanjutnya ketua delegasi Indonesia, Muhammad Roem menyampaikan pidato tentang pandagannya sebagai berikut:
1. Pemerintah Republik Indonesia dengan menyesal harus menyatakan bahwa aksi militer Belanda yang kedua telah menggoyahkan kepercayaan pada itikad baik pemerintah Belanda, reaksi negatif ini tidak saja terlihat dalam Republik Indonesia, seperti telah diletakkan jabatan oleh pemerintah Indonesia Timur dan pemerintah Pasundan serta dari resolusi badan-badan yang menyalahkan tindak tanduk militer tersebut, dan resolusi dari luar negeri, seperti Konferensi New Delhi, yang dihadiri oleh negara-negara Asia Selatan dan Tenggara.
2. Pemerintah Republik tidak berpendapat bahwa pokok-pokok yang disebut intruksi Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa pada tanggal 23 Maret 1949 sebagai pokok-pokok yang harus dibicarakan pada konferensi ini. Harus dibicarakan terlebih dahulu tentang kembalinya pemerintahan Republik ke Yogyakarta, setelah tercapai kata sepakan tentang hal tersebut, maka mudahlah untuk membicarakan pokok-pokok hal yang lain untuk suatu pemecahan menyeluruh. Jalan akan terbuka untuk mengadakan perundingan-perundingan mendasar dan kepercayaan yang tergoyah akan dipulihkan.
Pada tanggal 16 April, dimulailah pembicaraan antara kedua delegasi yang berlangsung hingga 7 Mei 1949. Perundingan tersebut berhasil mencapai persutujuan, yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini bukan merupakan suatu perjanjian yang sifatnya satu, akan tetapi merupakan suatu perjanjian yang terdiri atas dua keterangan yang berbeda. Pernyataan ini masing-masing disampaikan oleh kedua delegasi Indonesia dan Belanda.
Mohammad Roem, sebagai ketua delegasi Indonesia kemudian mengemukakan pernyataan yang berbunyi: sebagai ketua delegasi Republik Indonesia, saya diberi kuasa oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka pribadi sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa tanggal 28 Januari 1949 dan petunjuk-petunjuknya pada tanggal 23 Maret 1949 untuk memudahkan tercapainya:
1. Pengeluaran perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
2. Bekerjasama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
3. Turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tanpa syarat.
Sementara itu, ketua delegasi Belanda, Herman van Royen menyampaikan pendapatnya, sebagai berikut:
1. Pemerintah Belanda menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta , dan dibawah pengawasan United Nations Commisions for Indonesia (UNCI) akan menghentikan perang gerilya, di samping menjaga perdamaian dan ketertiban serta keamanan.
2. Pemerintah Republik Indonesia menjalankan tugasnya dalam residensi Yogyakarta.
3. Pihak Belanda akan menghentikan segala operasi militer dan akan melepaskan semua tahanan politik.
4. Belanda tidak akan mendirikan daerah dan negara baru di wilayah Republik Indonesia.
5. Belanda akan menyokong Republik Indonesia masuk ke Indonesia Serikat dan mempunyai sepertiga anggota dari keseluruhan anggota Dewan Perwakilan Federal.
6. Belanda menyetujui, bahwa semua areal di luar residensi Yogyakarta, di mana pegawai-pegawai Republik masih bertugas menjalankan tugasnya.
Kedua pernyataan tersebut merupakan pokok-pokok pada Perjanjian Roem-Royen, yang sekaligus merupakan dasar menuju Konferensi Meja Bundar (KMB), dan peristiwa yang sangat menentukan bagi Republik Indonesia. Karena dengan dicapainya persetujuan tersebut, maka pemerintah Republik Indonesia akan dikembalikan dan dipulihkan ke Yogyakarta. Perjanjian Roem-Royen juga merupakan suatu kemjuan yang akan membawa ke dalam perundingan-perundingan selanjutnya.