Gevedu: Penalaran Moral


Penalaran Moral
Karya: Rizki Siddiq Nugraha

 Penalaran adalah bagaimana seorang berpikir secara logis tentang suatu hal Gevedu: Penalaran Moral

Penalaran adalah bagaimana seorang berpikir secara logis tentang suatu hal, sedangkan moral adalah sesuatu hal baik dan buruk yang diterima oleh masyarakat mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, dan budi pekerti. Kolberg (dalam Sarwono, 2006, hlm. 96) mengartikan “moral adalah bagian dari penalaran”, sehingga Kolberg menyebutnya sebagai penalaran moral (moral reasoning). “Penalaran moral lebih menekankan pada alasan suatu tindakan dilakukan, bukan hanya pada arti dari suatu tindakan, sehingga dapat dinilai baik dan buruk tindakan tersebut” (Setiono, dalam Istaji, 2001, hlm. 31). Menurut Maskuriah (2000, hlm. 22) penalaran moral adalah “suatu pertimbangan pemikiran yang berkenaan dengan obyek moral yang berupa tingkah laku, perbuatan, dan tindakan yang berlandaskan ukuran norma dan nilai moral, baik yang berkembang dan dianut di dalam kehidupan sosial maupun yang berlandaskan agama, adat istiadat, dan ketentuan hukum yang berlaku secara umum”.
Berdasar sejumlah pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa penalaran moral adalah kemampuan kognitif yang dimiliki seseorang untuk mempertimbangkan, menilai, dan memutuskan suatu perilaku yang berdasarkan asas moral seperti baik dan buruk, etis dan tidak etis, boleh dan tidak boleh untuk dilakukan dan mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan.
Hurlock (1980, hlm. 225) menyebutkan bahwa “salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami saat kanak-kanak”. Remaja diharapkan mampu mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus di masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Tidak kalah penting, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru.
Penentuan perilaku moral seseorang antara satu dengan yang lain tidak selalu sama. Hal ini mengindikasikan adanya perkembangan moral. Perkembangan moral adalah perubahan dari standar tersebut dari waktu ke waktu. Perkembangan moral menentukan bagaimana seorang individu menilai dunia luar. Perkembangan moral ini membedakan antara anak kecil dan orang dewasa dalam hal penilaian baik buruk sebuah perilaku.
Pada perkembangannya penalaran moral dibagi berdasarkan tahapan yang harus dilalui oleh individu, salah satunya menurut Kohlberg (dalam Santrock, 2003, hlm. 441-442), sebagai berikut:

1. Tingkat pra-konvensional
Penalaran pra-konvensional adalah tingkatan terendah dalam perkembangan penalaran moral Kohlberg. Pada tingkatan ini individu tidak menunjukkan adanya internalisasi, nilai-nilai moral penalaran moral dikendalikan oleh hadiah atau reward dan hukuman eksternal. Tingkat ini dibagi atas dua tahap, yakni:
a. Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan (punishment and obedience orientation) (sekitar usia 0-7 tahun)
Tahap ini adalah tahap pertama pada teori perkembangan moral Kohlberg. Akibat fisik dari suatu perubahan yang dilakukan menentukan baik buruknya perbuatan tersebut tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat perbuatan tersebut. Anak pada tahap ini menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Baik buruknya perbuatan dinilai sebagai hal yang berharga dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tataran moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.
b. Tahap 2. Individualisme dan tujuan (individualism and purpose) (sekitar usia 10 tahun)
Pada tahap ini anak beranggapan bahwa perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri. Anak sudah lebih menyadari tentang kebutuhannya sendiri. Anak sudah lebih menyadari tentang kebutuhan-kebutuhan pribadi dan keinginan-keinginan, serta bertindak demi orang lain tetapi dengan mengharapkan suatu balasan.

2. Tingkat konvensional
Penalaran konvensional (convensional reasioning) adalah tingkatan kedua, atau menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini, individu mematuhi sejumlah stantar tertentu, tetapi standar tersebut merupakan standar orang lain, misalnya  orang tua atau hukum yang berlaku di masyarakat.
Pada tahap ini terdapat dua sub tingkat, pertama dikenal dengan the good boy/nice girl orientation, di mana moralitasnya berdasarkan pada mendapatkan pujian dan menghindari celaan orang lain dari kelompoknya. Pada subtingkat yang kedua disebut law and order orientation, yaitu perilaku moral merupakan bentuk dari kepatuhan pada figur otoritas dan keberadaan tatanan sosial. Tatanan sosial mengacu pada fungsi budaya dan masyarakat, aturan dan standar yang dipegang oleh anggota masyarakat. Hukum biasanya dipatuhi tanpa sanggahan dan mengabaikan situasi serta dianggap sebagai mekanisme untuk menjaga tatanan sosial.
Penalaran konvensional memiliki dua tahap, yakni:
a. Tahap 3. Norma interpersonal (sekitar usia 13 tahun)
Pada tahap ini individu menganggap rasa percaya, rasa sayang, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian moral. Anak-anak dan remaja pada tahap ini seringkali mengambil standar moral orang tua mereka, hal ini dilakukan karena mereka ingin orang tua mereka menganggap mereka sebagai anak yang baik.
b. Tahap 4. Moralitas sistem sosial (sekitar usia 16 tahun)
Pada tahap ini penilaian moral didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan, dan tugas sosial. Sebagai contoh, remaja dapat mengatakan supaya suatu komunitas berkerja secara efektif, maka komunitas tersebut perlu dilindungi oleh aturan yang ditaati seluruh anggota komunitas.

3. Tingkat pasca konvensional
Penalaran pasca konvensional (post-conventional reasoning) adalah tingkatan tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini seseorang lebih memperhatikan komitmen pada prinsip yang lebih tinggi dari perilaku yang dituntut oleh aturan sosial. Dengan kata lain, seseorang menentukan perilakunya tidak atas dasar pamrih tetapi lebih pada prinsip moral interaksi individu. Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki keabsahan serta dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip moral yang universal, yang tidak terkait dengan aturan-aturan setempat atau seluruh masyrakat.
Tahap ini terdiri atas dua tahap, yaitu:
a. Tahap 5. Hak komunitas vs hak individu (sekitar usia dewasa awal)
Pada tahap ini seseorang memiliki pemahaman bahwa nilai dan hukum adalah relatif dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda dengan orang lain. Individu menyadari bahwa hukum memang penting bagi suatu masyarakat, namun hukum sendiri dapat diubah. Individu percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan lebih penting dari hukum.
b. Tahap 6. Prinsip etis universial (usia dewasa)
Pada tahap ini seseorang sudah membentuk standar moral yang didasarkan pada hak manusia secara universal. Ketika dihadapkan pada suatu konflik antara hukum dan kata hati, ia akan mengikuti kata hati, walaupun ini dapat memunculkan resiko pada dirinya sendiri.

“Suatu faktor penting dalam perkembangan penalaran moral adalah faktor kognitif, terutama kemampuan berpikir abstrak dan luas” (Budiningsih, 2001, hlm. 32). Adapun faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan moral seorang anak juga banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungan, terutama dari orang tua. Ia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai tersebut.

Referensi
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Istaji, E. (2001). Perbedaan Tingkat Kematangan Moral antara Anak yang Orang Tuanya Penggemar Wayang Kulit dengan Anak yang Orang Tuanya Bukan Penggemar Wayang Kulit. (Skripsi). Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Maskuriah, H. (2000). Hubungan antara Penalaran Moral dengan Intensi Pro-Sosial Remaja. (Skripsi). Jombang: UNDAR.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.