Gevedu: Agresi Militer Belanda I


Agresi Militer Belanda I
Karya: Rizki Siddiq Nugraha

 Agresi Militer Belanda I atau secara internasional disebut juga  Gevedu: Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda I atau secara internasional disebut juga Operatie Product adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perjanjian Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perjanjian Linggarjati.
Diplomasi antara Belanda dan Indonesia mengalami jalan buntu karena kedua belah pihak saling menuduh telah melakukan pelanggaran-pelanggaran, dan masing-masing pihak bersikukuh atas interpretasi isi Perjanjian Linggarjati dan saling tidak mempercayai satu sama lain tentang pelaksanaan perjanjian tersebut.
Pihak Belanda secara terang-terangan mengirim tentara ke Indonesia dengan dalih untuk menjaga keamanan (police action) dan berupaya meyakinkan pihak internasional bahwa apa yang mereka lakukan adalah urusan dalam negeri, bukan agresi terhadap negara yang berdaulat. Apapun alasannya, pengiriman tentara dalam jumlah banyak dengan perlengkapan militer yang modern merupakan persiapan Aksi Militer yang sangat bertentangan dengan isi Perjanjian Linggarjati yang telah disepakati kedua belah pihak.
Walaupun pihak Indonesia masih memegang teguh isi Perjanjian Linggarjati, pihak Belanda terus mengobarkan sentimen anti Linggarjati dan menekan pihak Indonesia melalui diplomasi setengah hati dan ancaman Agresi Militer, serta mengacaukan perekonomian, dengan pemalsuan mata uang secara besar-besaran. Belanda juga terus melakukan upaya untuk memecah belah Republik Indonesia dengan membentuk daerah otonomi baru secara sepihak di luar Jawa, yakni di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, dan Riau. Belanda juga berencana melakukan plebisit (pemungutan suara) di daerah Jawa Barat, yang notabene berdasar pada Perjanjian Linggarjati merupakan wilayah Indonesia. Pihak Indonesia dengan tegas menolak plebisit secara sepihak, dan menuntut jika ada plebisit, maka pelaksanaannya harus dikawal oleh pihak internasional.
Tidak adanya kemajuan dalam pelaksanaan Perjanjian Linggarjati membuat dunia internasional mendesak kedua belah pihak tersebut untuk melaksanakan perjanjian secara konsekuen. Australia dengan tegas mendukung upaya dimulainya perdagangan dengan pihak Indonesia. India juga mengirim delegasi ke Yogyakarta untuk melakukan pembicaraan tidak resmi dengan pihak Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dan dagang dengan Indonesia. Suasana semakin memanas karena Belanda memprotes kegiatan-kegiatan hubungan luar negeri Indonesia yang berhasil memperoleh pengakuan atas Indonesia dan mengadakan perjanjian persahabatan.
Pada bulan Mei 1947 pihak Belanda sudah memutuskan bahwa mereka harus menyerang Indonesia secara langsung. Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam, pihak Belanda melancarkan aksi Polisional mereka yang pertama. Pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan dalam di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diserang. Di sejumlah daerah pun terjadi aksi perlawanan.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciaale Troepen (KST) di bawah pimpinan Westerlling, dan Pasukan Para I (le para compagnie) di bawah pimpinan Kapten C. Sisselaar.
Tujuan utama Agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, termasuk minyak. Namun, sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H. J. van Mook menyampaikan pidato pada radio, yang menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Linggarjati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang dengan dipersenjatai senjata yang modern.
Agresi Militer Belanda I berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan, dan pertambangan. Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik Indonesia dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh, dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.
Sebagai reaksi, pemerintah India dan Australia pada tanggal 30 Juli 1947 mendesak dewan keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membicarakan serangan Belanda tersebut. Pada tanggal 1 Agustus 1947, dewan keamanan PBB menyerukan agar paling lambat tanggal 4 Agustus 1947 kedua pihak menghentikan tembak menembak. Atas usul Amerika Serikat, dewan keamanan PBB juga membentuk komisi jasa baik yang terdiri atas tiga negara. Tugas komisi tersebut adalah mengawasi gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda. Indonesia memilih Australia yang diwakili oleh Richard Kirby, sedangkan Belanda memilih Belgia yang diwakili Paul van Zeeland. Kedua pihak tersebut kemudian memilih Amerika Serikat yang diwakili Dr. Frank Porter Graham. Komisi ini mulai bekerja pada bulan Oktober 1947 dan dikenal dengan sebutan komisi tiga negara.