Pertempuran Ambarawa
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Setelah berhasil mengalahkan Jepang, Komando Sekutu Asia Tenggara di Singapura mengutus tujuh perwira Inggris di bawah pimpinan Mayor A. G. Greenhalgh untuk datang ke Indonesia. Mereka tiba di Indonesia pada 8 September 1945 dengan tugas mempelajari dan melaporkan keadaan di Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu.
Pada tanggal 16 September 1945, rombongan perwakilan Sekutu mendarat di Tanjung Priok, Jakarta dengan menggunakan kapal Cumberland. Rombongan ini dipimpin Laksamana Muda W. R. Patterson. Sekutu menugaskan sebuah komando khusus untuk mengurus Indonesia dengan nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Komando ini dipimpin Letjen Sir Philip Christison yang memiliki tugas:
1. Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Indonesia.
2. Membebaskan para tawanan perang.
3. Melucuti dan memulangkan tentara Jepang.
4. Memulihkan keamanan dan ketertiban.
5. Mencari dan mengadili para penjahat Jepang.
AFNEI mulai mendaratkan pasukannya di Jakarta pada 29 September 1945. Pasukan ini hanya bertugas di Sumatera dan Jawa, sedangkan daerah Indonesia lainnya diserahkan kepada Angkatan Perang Australia. Kedatangan pasukan Sekutu ke Indonesia semula mendapat sambutan baik. Akan tetapi, setelah diketahui mereka datang disertai orang-orang Netherlandsch Indie Civil Administratie (NICA), sikap bangsa Indonesia berubah menjadi penuh kecurigaan dan bahkan akhirnya bermusuhan. Bangsa Indonesia mengetahui bahwa NICA berniat menegakkan kembali kekuasaannya. Situasi berubah memburuk manakala NICA mempersenjatai kembali bekas anggota Koninklijk Nederlands Indies Leger (KNIL). Satuan-satuan KNIL yang telah dibebaskan Jepang kemudian bergabung dengan tentara NICA. Di berbagai daerah, NICA dan KNIL yang didukung Sekutu melancarkan provokasi dan melakukan teror terhadap para pemimpin nasional sehingga pecahlah berbagai pertempuran di daerah-daerah, salah satunya di Ambarawa.
Ambarawa, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota Semarang, Jawa Tengah. Pada pertempuran Ambarawa, rakyat beserta tentara Indonesia berjuang mempertahankan daerahnya dari cengkeraman tentara Sekutu yang mencoba membebaskan para tahanan tentara Belanda, NICA.
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Berthell mendarat di Semarang dengan tujuan mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan Sekutu ini awalnya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah, Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedangkan Sekutu berjanji tidak akan menganggu kedaulatan Republik Indonesia. Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, justru mempersenjatai mereka sehingga menimbulkan amarah pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di Kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini segara mengadakan pengejaran. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Satrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh, dan Surakarta.
Sekutu kembali dihadang oleh Batlyon I Suryosumpeno di Ngipik. Pada saat mundur, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut. Pada pertempuran tersebut Letnan Kolonel Isdiman gugur. Sejak gugurnya Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Soedirman merasa kehilangan perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah pertempuran dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan pekuburan Belanda, di Jalan Margo Agung. Pasukan Indonesia yang terlibat, yakni Yon Imam Androngi, Yon Soeharto, dan Yon Sugeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tank, menyusup dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia mundur ke Bedono.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Kemudian pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kolonel Soedirman langsung mempimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang atau pengepungan rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama empat hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa, serta Sekutu mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angakatan Darat atau Hari Juang Kartika. Hingga kini, darah juang yang telah berkobar di bumi Ambarawa menjadi bukti dari keteguhan serta pengorbanan untuk mempertahankan harga diri bangsa yang harus tetap kita pertahankan sampai kapanpun.